Ritual pelarungan yang menandai penutupan Grebeg Suro ini merupakan perwujudan tradisi masyarakat Ngebel
Masyarakat adat di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, menggelar upacara larungan sesaji di Telaga Ngebel di kaki Gunung Wilis, Sabtu.
Ritual adat yang menjadi puncak rangkaian kegiatan "Garebek Suro" atau peringatan pergantian tahun baru Islam tersebut menarik perhatian dari wisatawan lokal maupun mancanegara.
Bahkan, tak sedikit wisatawan yang datang ke Telaga Ngebel sejak Jumat malam (24/10) untuk mengikuti prosesi menjelang pergantian Tahun Islam atau "suroan".
"Larungan ini dilakukan setiap 1 Muharam. Ini sebagai wujud puji syukur kami warga sekitar Ngebel karena setahun ini telah diberi rahmat rezeki dan keselamatan oleh Tuhan," kata Ketua Penitia Larungan yang juga sesepuh Ngebel, KRT Hartoto Dwijo.
Ritual larungan sesaji, menurut Hartoto, diyakini sebagai kegiatan untuk "tolak bala" (penangkal prahara) bagi masyarakat Ponorogo, khususnya yang tinggal di sekitar Telaga Ngebel.
"Masyarakat di sini mempercayai bahwa dengan adanya larungan seperti ini nantinya bakal tidak ada lagi musibah apa pun yang akan terjadi di sini, dengan harapan meminta ridlo Allah," ujarnya.
Namun, ia tidak mau upacara ini dimaknai sebagai upaya memberi sesembahan kepada makhluk-makhluk gaib di Telaga Ngebel. Menurut dia, kegiatan tersebut hanya sebagai bentuk ucapan syukur kepada Yang Maha Kuasa.
"Tujuan lainnya adalah sebagai daya tarik wisata, yaitu dari sisi budayanya yang menarik," katanya.
Prosesi pelarungan ditandai dengan arak-arakan dua tumpeng raksasa yang disebut "Buceng Agung" dan "Buceng Purak" oleh sejumlah pemuka adat mengelilingi Telaga Ngebel.
Selesai pawai yang diiringi pasukan berseragam adat ala kerajaan Jawa, Buceng Agung dari nasi beras merah dan sejumlah buah serta sayuran itu kemudian dilarung di tengah Telaga Ngebel.
Sementara itu, salah satu budayawan Ponorogo, yang akrab disapa Mbah Melan mengatakan ritual larung sesaji merupakan salah satu bentuk kekayaan budaya bangsa.
"Upacara yang sudah ada jauh sebelum masyarakat Ponorogo mengenal peradaban maju kini tetap dipelihara dan dipertahankan dengan cara digarap sesuai dengan kebutuhan pariwisata. Namun demikian, seluruhnya tetap diupayakan tidak mengurangi hal-hal yang bersifat transendental sebagai perwujudan menjaga kemurnian tradisi," katanya.
Masyarakat adat di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, menggelar upacara larungan sesaji di Telaga Ngebel di kaki Gunung Wilis, Sabtu.
Ritual adat yang menjadi puncak rangkaian kegiatan "Garebek Suro" atau peringatan pergantian tahun baru Islam tersebut menarik perhatian dari wisatawan lokal maupun mancanegara.
Bahkan, tak sedikit wisatawan yang datang ke Telaga Ngebel sejak Jumat malam (24/10) untuk mengikuti prosesi menjelang pergantian Tahun Islam atau "suroan".
"Larungan ini dilakukan setiap 1 Muharam. Ini sebagai wujud puji syukur kami warga sekitar Ngebel karena setahun ini telah diberi rahmat rezeki dan keselamatan oleh Tuhan," kata Ketua Penitia Larungan yang juga sesepuh Ngebel, KRT Hartoto Dwijo.
Ritual larungan sesaji, menurut Hartoto, diyakini sebagai kegiatan untuk "tolak bala" (penangkal prahara) bagi masyarakat Ponorogo, khususnya yang tinggal di sekitar Telaga Ngebel.
"Masyarakat di sini mempercayai bahwa dengan adanya larungan seperti ini nantinya bakal tidak ada lagi musibah apa pun yang akan terjadi di sini, dengan harapan meminta ridlo Allah," ujarnya.
Namun, ia tidak mau upacara ini dimaknai sebagai upaya memberi sesembahan kepada makhluk-makhluk gaib di Telaga Ngebel. Menurut dia, kegiatan tersebut hanya sebagai bentuk ucapan syukur kepada Yang Maha Kuasa.
"Tujuan lainnya adalah sebagai daya tarik wisata, yaitu dari sisi budayanya yang menarik," katanya.
Prosesi pelarungan ditandai dengan arak-arakan dua tumpeng raksasa yang disebut "Buceng Agung" dan "Buceng Purak" oleh sejumlah pemuka adat mengelilingi Telaga Ngebel.
Selesai pawai yang diiringi pasukan berseragam adat ala kerajaan Jawa, Buceng Agung dari nasi beras merah dan sejumlah buah serta sayuran itu kemudian dilarung di tengah Telaga Ngebel.
Sementara itu, salah satu budayawan Ponorogo, yang akrab disapa Mbah Melan mengatakan ritual larung sesaji merupakan salah satu bentuk kekayaan budaya bangsa.
"Upacara yang sudah ada jauh sebelum masyarakat Ponorogo mengenal peradaban maju kini tetap dipelihara dan dipertahankan dengan cara digarap sesuai dengan kebutuhan pariwisata. Namun demikian, seluruhnya tetap diupayakan tidak mengurangi hal-hal yang bersifat transendental sebagai perwujudan menjaga kemurnian tradisi," katanya.
Editor: Heppy Ratna
Sumber Berita : antaranews.com
إرسال تعليق