64 Warga Ponorogo ditemukan Terdeteksi HIV/AIDS

Penularan HIV/AIDS di Ponorogo terus meningkat dari tahun ke tahun. Hingga saat ini, penyakit yang disebabkan human immunodeficiency virus ini sudah menjangkiti 253 orang. Dari jumlah penderita itu, 64 di antaranya baru ditemukan 2014 ini. ‘’Jujur kami akui, ada peningkatan penderita yang terdeteksi HIV/AIDS,’’ terang Ketua Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Ponorogo Yuni Widyaningsih, kemarin (30/11).


Ida –sapaan Yuni Widyaningsih—buru-buru meminta meningkatnya penderita HIV/AIDS tidak dijadikan tolok ukur tingginya penularan penyakit yang belum ada obatnya ini. Sebaliknya, dia mengklaim tingginya angka penderita itu hasil kerja keras tim KPA dan dinkes melacak penderita baru. ‘’Untuk mengungkap penderita bukanlah pekerjaan mudah, butuh kerja keras di lapangan.
Banyak faktor yang membuat penderita ragu untuk berinisiatif mencari pengobatan dengan alasan malu, takut, maupun perasaan dendam,’’ jelasnya.
Dia tidak memungkiri masih ada stigma negatif di masyarakat terhadap pengidap HIV/AIDS. Pun, penderita berasal dari beragam latar belakang. Mulai ibu rumah tangga, kalangan gay, pekerja seks komersial (PSK), hingga pecandu obat terlarang. Kelompok usia mereka juga berbeda, dari balita hingga dewasa. Sedangkan penularannya lewat hubungan seksual, penggunaan jarum suntik yang tidak steril, dan atau tranfusi darah. ‘’Kalau yang balita tertular dari orang tuanya. Deteksi penderita balita lambat karena orang tua terlambat menyadari sudah mewarisi penyakit ke anaknya,’’ ungkap Wakil Bupati Ponorogo itu.
Ida menegaskan bahwa pemkab serius menanggulangi HIV/AIDS. Tidak sekadar melakukan pendampingan penderita, pihaknya sengaja mengalokasikan anggaran yang terus meningkat setiap tahun. ‘’Tahun lalu kami alokasikan Rp 50 juta, tahun ini meningkat dua kali lipatnya. Tahun depan, kami pastikan juga ada peningkatan anggaran. Ini belum termasuk obat-obatan, penderita bisa mengakses ARV (antiretroviral) melalui dinas kesehatan,’’ tegasnya.
Keengganan penderita HIV/AIDS berobat, imbuh dia, menjadi kendala KPA menekan penyebaran penyakit berbahaya ini. Padahal, ARV bermanfaat memperpanjang harapan hidup pengidap HIV/AIDS. ‘’Obat ini melawan infeksi dengan memperlambat replikasi virus HIV dalam tubuh penderitanya. Sayangnya masih ada yang enggan berobat bahkan putus obat. Kami paham perasaan mereka, makanya pendampingan terus dilakukan,’’ paparnya.
Ida juga meminta masyarakat tidak under estimate terhadap penderita HIV/AIDS. Sebab, penularan HIV/AIDS sejatinya tidak semudah yang dirumorkan. Virus tidak akan menular jika hanya berjabat tangan atau sekadar berbincang. Penderita HIV/AIDS tidak selayaknya dijauhi karena punya hak sama seperti warga negara lainnya. ‘’Jauhi virusnya, bukan orangnya. ODHA (orang dengan HIV/AIDS) juga perlu berdaya,’’ katanya.
Di sisi lain, KPA dihinggapi kekhawatiran terkait rencana penutupan lokalisasi Kedungbanteng. Pihaknya waswas penutupan lokalisasi terbesar di seantero Madiun itu bakal berimbas pada penyebaran HIV/AIDS di saat bisnis esek-esek semakin tidak terawasi. Para penjaja cinta itu dikhawatirkan mangkal di sembarang tempat. Padahal, pemkab melalui dinkes selama ini rutin melakukan voluntary counseling test (VCT) terhadap PSK penghuni lokalisasi Kedungbanteng guna mendeteksi dini pengidap HIV/AIDS.
‘’Penutupan lokalisasi bukan satu-satunya solusi penanganan pekerja seks komersial. Saya malah khawatir tanpa perencanaan yang matang, penutupan akan menimbulkan masalah baru,’’ terangnya. (aan/hw)@ponxzhi

Dilangsir dari : radarmadiun

Post a Comment

أحدث أقدم