Hotel
Griya Dharma Kusuma di Kabupaten Bojonegoro, Jatim menjadi saksi bisu atas
disahkannya APBD Kabupaten Ponorogo tahun 2015. Pengesahan APBD di luar kota
tersebut memantik reaksi keras masyarakat. Selain keputusan kontroversi yang
disebut- sebut menjadi peristiwa langka di Indonesia, penandatanganan APBD yang
mustinya dilakukan terbuka untuk rakyat itu juga dinilai cacat mental dan
syarat kepentingan.
Dipilihnya gedung sebuah hotel di Bojonegoro sebagai tempat pengesahan APBD sebesar lebih dari 1,8 Triyun ini bermula dari gagalnya rapat paripurna di Gedung DPRD Ponorogo pada Sabtu (29/11) lalu lantaran tidak korum atau terpenuhinya 2/3 dari 45 total anggota dewan.
Apapun alasannya, hijarahnya rombongan Bupati dan jajarannya bersama 26 Anggota Dewan menyusul 6 anggota dewan (PAN) lainnya untuk mengesahkan APBD 2015 memunculkan pertayaan besar. Salah satunya diungkap oleh Wahidin Ronowijoyo, Aktifis Forum Masyarakat Madani Ponorogo kepada Pewarta HOKI, Jum'at (6/12).
Wahidin mengaku sangat menyesalkan langkah legislatif dan eksekutif melakukan pengesahan APBD yang menjadi roh Pemerintahan Ponorogo selama satu tahun ke depan dilakukan bukan di wilayah sendiri.
Ia mengilustrasikan bahwa membahas dapur sebuah rumah tangga dan menentukan soal anggaran sangat tidak pantas dilakukan di rumah orang lain. “Apapun kondisinya seharusnya dilakukan di rumah sendiri. Ini jelas sangat disesalkan. Kenapa rapat malah di luar daerah atau Bojonegoro,” kata Wahidin.
Meski ada dalam tatib dewan dan tidak ada larangan, pengesahan APBD dilaksanakan di luar kota, namun menurut Wahidin langkah itu sebagai bentuk pengkerdilan pemikiran. “Memahami tatib jangan hanya dangkal. Meski diperbolehkan, namun jangan dilupakan bahwa rakyat punya hak mengikuti paripurna APBD yang harusnya dilakukan terbuka untuk umum itu,” paparnya.
Untuk itu, pihaknya mengklaim pengesahan APBD Ponorogo di Hotel di Kabupaten Bojonegoro ini cacat mental.
“Ya pengesahan ABPD ini cacat mental. Karena ini terjadi dari dangkalnya pemahaman wakil-wakil kita di dewan. Mereka melupakan hak-hak masyarakat di dalam pengesahan itu,” tambahnya.
Jika demikian, dia khawatir produk yang dihasilkan secara cacat itu bakal memicu cacatnya hukum pengesahan APBD Ponorogo 2015. “Bisa saja cacat hukum, karena paripurna itu tidak dilakukan secara terbuka untuk masyarakat Ponorogo. Ini bisa di PTUN kan,” tegasnya.
Wahidin juga sempat melontarkan keraguannya akan lolosnya APBD Ponorogo 2015 itu di tingkat gubernur. “Bisa saja, karena ini tidak memenuhi salah satu unsur, maka bisa saja kebijakan Gubernur berkata lain,” tukasnya. Apalagi, pelaksanaan rapat disebuah hotel itu melanggar Surat Edaran (SE) MenPAN RB tentang larangan mengelar rapat pemerintah di hotel sebagai upaya penghematan anggaran. “Baru saja SE MenPAN itu dibuat, sudah dilanggar,” tukasnya.
Selain menimbulkan prasangka dan penafsiran negatif, gagalnya pelaksanaan Paripurna APBD di wilayah sendiri juga sebagai bentuk dominasi kepentingan politik diatas kepentingan rakyat.
“Ya sepertinya ada agenda khusus tersembunyi dibalik hijrahnya 26 anggota dewan beserta Bupati dan rombongan eksekutif menyusul 6 anggota dewan di Bojonegoro untuk melakukan paripurna APBD disana. Ini sangat aneh,” tambahnya.
Menanggapi hal itu, Ali Mufti Ketua DPRD Ponorogo mengaku sadar bahwa keputusan yang diambil tersebut memang kontroversi. Dalam hal tersebut, Ali Mufti hanya memandang dari segi maslahatnya demi kepentingan Ponorogo untuk masa satu tahun ke depan.
“Dari awal kami dan rekan- rekan di dewan sadar, ini kontroversi dan akan menimbulkan pro kontra, pandangan sisi positif dan negatif. Yang pasti, saat itu keputusan cepat harus kita ambil untuk kepentingan masyarakat Ponorogo yang lebih besar. Kami juga siapkan ruang untuk publik guna menjelaskan hal itu,” kata Ali Mufti.
Ali Mufti menegaskan, penetapan APBD di Bojonegoro semata- mata hanya karena mengejar waktu yang sangat mepet sebelum disodorkan ke Gubernur. “Saya pastikan tidak ada deal- deal gelap disana. Semua seperti pembahasan di dewan sebelumnya. Tidak ada perubahan angka disana,” tegasnya.
Terkait SE MenPAN RB, pihaknya berdalih bahwa penetapan di Bojonegoro dilakukan secara singkat dan sederhana tanpa pemborosan. “Penetapan disana itu hanya kurang dari dua jam, juga tidak ada makan,” kilahnya.
Kontroversi penetapan APBD itu, dikatakannya sebagai bentuk dari seni kepemimpinan yang harus berani diambil disaat yang sulit. Sebaliknya, atas hal itu, pihaknya akan melakukan evaluasi internal terhadap sejumlah anggota dewan yang tidak hadir dalam penetapan APBD.
Sementara itu ditempat terpisah, Agung Priyanto dari Fraksi PDIP mengatakan, penetapan APBD itu idealnya memang dilakukan di Ponorogo. Kejadian penetapan di luar kota ini menurutnya mamang baru pertama kali terjadi sejak dirinya menjadi wakil rakyat selama 15 tahun.
Perlu dilakukan intropeksi bersama apalagi penetapan APBD ini dilakukan oleh Pimpinan Dewan yang baru. “Bagaimana menjaga kekompakan dalam badan organisasi. Jangan sampai tejadi seperti ini ke depannya,” katanya.
Ia juga mengatakan harus ditarik benang merahnya, mengapa satu Fraksi (Fraksi Gerakan Pembangunan Indonesia Sejahtera) tidak hadir. “Berarti ada komunikasi yang buntu, mungkin ke depan tidak boleh terjadi. Artinya bahwa, satu fraksi tidak hadir pasti ada hal- hal yang mungkin putus komunikasinya,” ulas Agung.
Menurutnya, penetapan APBD ini sangat penting untuk anggaran satu tahun kedepan. “Apalagi ini (yang tidak hadir) fraksinya gabungan, ada beberapa partai disitu, harus dikaji kedepan, ada problem apa, yang terpenting komunukasinya harus dibangun,” tambahnya. @ponxzhi
Dipilihnya gedung sebuah hotel di Bojonegoro sebagai tempat pengesahan APBD sebesar lebih dari 1,8 Triyun ini bermula dari gagalnya rapat paripurna di Gedung DPRD Ponorogo pada Sabtu (29/11) lalu lantaran tidak korum atau terpenuhinya 2/3 dari 45 total anggota dewan.
Apapun alasannya, hijarahnya rombongan Bupati dan jajarannya bersama 26 Anggota Dewan menyusul 6 anggota dewan (PAN) lainnya untuk mengesahkan APBD 2015 memunculkan pertayaan besar. Salah satunya diungkap oleh Wahidin Ronowijoyo, Aktifis Forum Masyarakat Madani Ponorogo kepada Pewarta HOKI, Jum'at (6/12).
Wahidin mengaku sangat menyesalkan langkah legislatif dan eksekutif melakukan pengesahan APBD yang menjadi roh Pemerintahan Ponorogo selama satu tahun ke depan dilakukan bukan di wilayah sendiri.
Ia mengilustrasikan bahwa membahas dapur sebuah rumah tangga dan menentukan soal anggaran sangat tidak pantas dilakukan di rumah orang lain. “Apapun kondisinya seharusnya dilakukan di rumah sendiri. Ini jelas sangat disesalkan. Kenapa rapat malah di luar daerah atau Bojonegoro,” kata Wahidin.
Meski ada dalam tatib dewan dan tidak ada larangan, pengesahan APBD dilaksanakan di luar kota, namun menurut Wahidin langkah itu sebagai bentuk pengkerdilan pemikiran. “Memahami tatib jangan hanya dangkal. Meski diperbolehkan, namun jangan dilupakan bahwa rakyat punya hak mengikuti paripurna APBD yang harusnya dilakukan terbuka untuk umum itu,” paparnya.
Untuk itu, pihaknya mengklaim pengesahan APBD Ponorogo di Hotel di Kabupaten Bojonegoro ini cacat mental.
“Ya pengesahan ABPD ini cacat mental. Karena ini terjadi dari dangkalnya pemahaman wakil-wakil kita di dewan. Mereka melupakan hak-hak masyarakat di dalam pengesahan itu,” tambahnya.
Jika demikian, dia khawatir produk yang dihasilkan secara cacat itu bakal memicu cacatnya hukum pengesahan APBD Ponorogo 2015. “Bisa saja cacat hukum, karena paripurna itu tidak dilakukan secara terbuka untuk masyarakat Ponorogo. Ini bisa di PTUN kan,” tegasnya.
Wahidin juga sempat melontarkan keraguannya akan lolosnya APBD Ponorogo 2015 itu di tingkat gubernur. “Bisa saja, karena ini tidak memenuhi salah satu unsur, maka bisa saja kebijakan Gubernur berkata lain,” tukasnya. Apalagi, pelaksanaan rapat disebuah hotel itu melanggar Surat Edaran (SE) MenPAN RB tentang larangan mengelar rapat pemerintah di hotel sebagai upaya penghematan anggaran. “Baru saja SE MenPAN itu dibuat, sudah dilanggar,” tukasnya.
Selain menimbulkan prasangka dan penafsiran negatif, gagalnya pelaksanaan Paripurna APBD di wilayah sendiri juga sebagai bentuk dominasi kepentingan politik diatas kepentingan rakyat.
“Ya sepertinya ada agenda khusus tersembunyi dibalik hijrahnya 26 anggota dewan beserta Bupati dan rombongan eksekutif menyusul 6 anggota dewan di Bojonegoro untuk melakukan paripurna APBD disana. Ini sangat aneh,” tambahnya.
Menanggapi hal itu, Ali Mufti Ketua DPRD Ponorogo mengaku sadar bahwa keputusan yang diambil tersebut memang kontroversi. Dalam hal tersebut, Ali Mufti hanya memandang dari segi maslahatnya demi kepentingan Ponorogo untuk masa satu tahun ke depan.
“Dari awal kami dan rekan- rekan di dewan sadar, ini kontroversi dan akan menimbulkan pro kontra, pandangan sisi positif dan negatif. Yang pasti, saat itu keputusan cepat harus kita ambil untuk kepentingan masyarakat Ponorogo yang lebih besar. Kami juga siapkan ruang untuk publik guna menjelaskan hal itu,” kata Ali Mufti.
Ali Mufti menegaskan, penetapan APBD di Bojonegoro semata- mata hanya karena mengejar waktu yang sangat mepet sebelum disodorkan ke Gubernur. “Saya pastikan tidak ada deal- deal gelap disana. Semua seperti pembahasan di dewan sebelumnya. Tidak ada perubahan angka disana,” tegasnya.
Terkait SE MenPAN RB, pihaknya berdalih bahwa penetapan di Bojonegoro dilakukan secara singkat dan sederhana tanpa pemborosan. “Penetapan disana itu hanya kurang dari dua jam, juga tidak ada makan,” kilahnya.
Kontroversi penetapan APBD itu, dikatakannya sebagai bentuk dari seni kepemimpinan yang harus berani diambil disaat yang sulit. Sebaliknya, atas hal itu, pihaknya akan melakukan evaluasi internal terhadap sejumlah anggota dewan yang tidak hadir dalam penetapan APBD.
Sementara itu ditempat terpisah, Agung Priyanto dari Fraksi PDIP mengatakan, penetapan APBD itu idealnya memang dilakukan di Ponorogo. Kejadian penetapan di luar kota ini menurutnya mamang baru pertama kali terjadi sejak dirinya menjadi wakil rakyat selama 15 tahun.
Perlu dilakukan intropeksi bersama apalagi penetapan APBD ini dilakukan oleh Pimpinan Dewan yang baru. “Bagaimana menjaga kekompakan dalam badan organisasi. Jangan sampai tejadi seperti ini ke depannya,” katanya.
Ia juga mengatakan harus ditarik benang merahnya, mengapa satu Fraksi (Fraksi Gerakan Pembangunan Indonesia Sejahtera) tidak hadir. “Berarti ada komunikasi yang buntu, mungkin ke depan tidak boleh terjadi. Artinya bahwa, satu fraksi tidak hadir pasti ada hal- hal yang mungkin putus komunikasinya,” ulas Agung.
Menurutnya, penetapan APBD ini sangat penting untuk anggaran satu tahun kedepan. “Apalagi ini (yang tidak hadir) fraksinya gabungan, ada beberapa partai disitu, harus dikaji kedepan, ada problem apa, yang terpenting komunukasinya harus dibangun,” tambahnya. @ponxzhi
Dilangsir dari :Kabar Indonesia
إرسال تعليق