Indonesia sedang melakukan persiapan eksekusi mati terhadap sebelas
terpidana narkoba. Seperti di antaranya dua warga Australia, Andrew Chan
dan Myuran Sukumaran. Sontak, Indonesia kini jadi sorotan dunia atas
eksekusi mati tersebut.
Namun di tengah pemberitaan mengenai pelaksanaan eksekusi mati, ternyata di sisi lain terdapat sebuah realita yang datangnya dari para regu tembak. Seperti yang dilansir dari The Guardian, Jumat (6/3/2015), salah satu dari regu penembak itu mengungkaplan realita mengerikan tentang peradilan Indonesia.
Petugas yang enggan disebutkan namanya ini mengatakan sungguh terasa emosi yang sesungguhnya bertentangan dari hati mereka yang bertanggung jawab untuk menegakkan tanggung jawab tersebut. "Mudah saja kita menarik pelatuk. Tapi yang paling buruknya di sisi manusiawinya. Percayalah, berhubungan dengan seseorang yang akan mati, mengikat badan, tangan dan kaki di tiang eksekusi menggunakan tali yang tebal sungguh merupakan saat-saat brutal yang bisa jadi mimpi buruk Anda," katanya.
"Beban mental saat-saat tersebut terasa lebih berat saat menembak mati mereka daripada menangani beberapa tahanan. Mengapa begitu? Karena algojo juga menjemput mereka, mengikat mereka yang dalam beberapa waktu tidak akan bergerak lagi," tambahnya.
Mereka hanya menjalankan tugas. Terlebih lagi, upah mereka menanggung beban itu hanya dihargai sebesar Rp 1,3 juta saja. "Sungguh mengerikan menjadi seseorang yang terakhir menyentuh tahanan sebelum mereka menjemput ajal mereka," ujarnya.
Petugas Brimob yang diutus menjadi sang eksekutor ini enggan untuk menjalankan tugas seperti ini terus-terusan. "Jika ada prajurit lain yang bisa melakukannya. Perbolehkan mereka saja yang melakukannya," ungkapnya.
Lebih lanjut, petugas Brimob ini juga mengatakan dirinya enggan mengingat saat- saat di mana tersangka hendak ditembak mati. "Saya juga senantiasa mendoakan mereka, supaya mendapatkan ketenangan dan penghiburan bagi keluarga yang ditinggalkan," ungkapnya tulus.
Sumber: The Guardian
Namun di tengah pemberitaan mengenai pelaksanaan eksekusi mati, ternyata di sisi lain terdapat sebuah realita yang datangnya dari para regu tembak. Seperti yang dilansir dari The Guardian, Jumat (6/3/2015), salah satu dari regu penembak itu mengungkaplan realita mengerikan tentang peradilan Indonesia.
Petugas yang enggan disebutkan namanya ini mengatakan sungguh terasa emosi yang sesungguhnya bertentangan dari hati mereka yang bertanggung jawab untuk menegakkan tanggung jawab tersebut. "Mudah saja kita menarik pelatuk. Tapi yang paling buruknya di sisi manusiawinya. Percayalah, berhubungan dengan seseorang yang akan mati, mengikat badan, tangan dan kaki di tiang eksekusi menggunakan tali yang tebal sungguh merupakan saat-saat brutal yang bisa jadi mimpi buruk Anda," katanya.
"Beban mental saat-saat tersebut terasa lebih berat saat menembak mati mereka daripada menangani beberapa tahanan. Mengapa begitu? Karena algojo juga menjemput mereka, mengikat mereka yang dalam beberapa waktu tidak akan bergerak lagi," tambahnya.
Mereka hanya menjalankan tugas. Terlebih lagi, upah mereka menanggung beban itu hanya dihargai sebesar Rp 1,3 juta saja. "Sungguh mengerikan menjadi seseorang yang terakhir menyentuh tahanan sebelum mereka menjemput ajal mereka," ujarnya.
Petugas Brimob yang diutus menjadi sang eksekutor ini enggan untuk menjalankan tugas seperti ini terus-terusan. "Jika ada prajurit lain yang bisa melakukannya. Perbolehkan mereka saja yang melakukannya," ungkapnya.
Lebih lanjut, petugas Brimob ini juga mengatakan dirinya enggan mengingat saat- saat di mana tersangka hendak ditembak mati. "Saya juga senantiasa mendoakan mereka, supaya mendapatkan ketenangan dan penghiburan bagi keluarga yang ditinggalkan," ungkapnya tulus.
Sumber: The Guardian
إرسال تعليق